Debu Tersapu Angin
Aku sengaja tidak memberi tahu Jeny soal
hubunganku dengan Rio. Mungkin aku akan segera memberi tahu jika sudah waktunya
nanti. Ya, menunggu hubunganku berjalan normal tidak seperti sekarang.
“Rani…!!!
Besok ada acara gak kamu, nonton basket yuk. Aku bosan Ran dirumah.
”Nonton basket? Ada angin apa tiba – tiba Jeny ingin menonton
basket? Omongku dalam hati. “nonton basket? Oh okay Jen, tapi kamu jemput aku
ya dirumah. Jangan bikin aku menjamur gara – gara kelamaan nunggu terus tiba –
tiba gak jadi kayak janjimu 3 hari yang lalu.”jawabku dengan nada yang
menyebalkan.
Dengan santainya dia minta maaf dan ketawa lebar seperti orang
tanpa dosa dihadapanku. “iya – iya Ran, sorry deh soal 3 hari yang lalu.
Soalnya ada urusan mendadak banget. Sorry ya?”. Aku hanya menghembuskan nafas
dan berjalan meninggalkan Jeny.
Huaam, jam dinding menunjukkan pukul
07.10 pagi. Menatap atap kamar yang berwarna biru, aku masih membayangkan
kejadian semalam. Rio akhir – akhir ini berubah. Kata – kata yang semalam aku
dengar di telfon seperti bukan Rio yang aku kenal, bukan Rio yang statusnya
pacar aku. Ya Tuhan, baru pacaran 1 bulan tapi sudah seperti ini? Apa dalam
sebuah hubungan pasti ada saat – saat seperti ini?.
Aku mempunyai satu prinsip dalam hidupku,
aku tidak ingin menangis hanya karna seseorang yang belum tentu jadi pendamping
hidup aku. Mungkin aku terlalu bodoh karna aku selalu berfikiran positif tentang
pacar aku, tapi itu caraku menghibur diri supaya aku tidak terbawa
emosi dan ujung – ujungnya menangis. Ya, walaupun sudah beberapa kali
aku mendapat kabar tentang Rio yang baru – baru ini katanya sering jalan sama
cewek. Dan yang pasti cewek itu bukan aku. Hemm, mungkin itu saudaranya atau
temannya saja, itu pemikiran aku.
Nada dering Barbie berbunyi, aku lihat layar telfon dan ternyata
itu dari Jeny. Perhatian sekali dia telfon aku pagi – pagi seperti ini. Inikan
hari minggu. “iya Hallo, Jen? Ada apa pagi – pagi gini sudah telfon?”.
“kamu baru bangun ya Ran? Kamu belum siap-siap?” suara Jeny begitu
keras dan membuat telingaku hampir pecah. Tidak bisakah dia menurunkan nada
bicaranya itu, uuhh !.
Ya Tuhan, oh iya! aku ada janji sama Jeny untuk nonton basket hari
ini. “oh iya – iya Jen, ini aku baru mau siap – siap kok.” Bodoh sekali aku,
hampir saja lupa dengan janji itu.
“okay, satu jam lagi aku kerumahmu ya, jangan membuat aku menunggu
lama didepan pintu.” Tut…tut…tut… Dia langsung mematikan telfon. Uh, masih
terlalu malas untuk mandi pagi di hari Minggu.
Sesampainya di tempat pertandingan
basket, aku terkejut melihat Rio sedang main di area itu. Oh Tuhan, semoga Jeny
tidak tahu soal hubunganku dengan Rio, aku masih belum siap untuk menceritakan
semuanya. Kenapa Rio tidak bilang kalau hari ini dia main? Mungkin dia lupa
tidak memberitahuku. Sudahlah nanti aku temui Rio saja sebentar.
“Eh Jen, aku keluar dulu ya sebentar. Ada
urusan, aku juga mau ke kamar mandi. Gak papa kan aku tinggal? Nanti aku kesini
lagi.” Ucapku ke Jeny. Aku harus ketemu Rio sekarang ini waktunya aku ngobrol
berdua sama dia, karna tidak pernah ada waktu untuk keluar sama aku.
“Eh, eh tapi…?” Aku langsung pergi
sebelum Jeny melanjutkan omongannya. Tidak ada kata – kata lain untuk mencari
alasan lagi kalau Jeny menyakan sesuatu lain. Maafkan aku Jeny. Aku akan
ceritakan semuanya setelah hubunganku berjalan normal lagi. Tidak seperti
sekarang, aku tidak ingin dia ikut prihatin dengan hubunganku yang sekarang.
“Rio?” aku memanggilnya dengan nada halus
dan sambil tersenyum.
“Rani? Loh kok disini?” Raut wajahnya
sedikit terkejut ketika melihat aku.
“eemm iya, aku tadi nonton kamu pas main.
Bagus sekali Rio, aku bangga sama kamu.” Aku tersenyum dan duduk disampiing
Rio. Dia membalas senyumku dan tidak membalas perkataanku.
“Rio, kamu udah minum. Ini aku bawa air
putih buat kamu?”
“makasih Ran” ucapnya sambil tersenyum
padaku.
“Rio, kamu kemana aja akhir – akhir ini?
Kamu sibuk latihan ya?aku selalu nunggu kabar dari kamu lho.” Tanyaku sambil
membersihkan keringat Rio.
“iya Ran, maaf ya aku tidak memberi
kabar. Aku latihan terus buat pertandingan ini Ran, aku harap kamu mengerti.”
Tiba – tiba telfon Rio berbunyi. Entah
dari siapa aku tidak tahu. Bukan hak aku untuk tahu soal privasinya.
“eem Ran, aku pergi dulu ya Ran. Ada
urusan yang harus aku selesaikan. Nanti aku temui kamu lagi.” Ucap Rio sambil
menghelai rambutku. Belum sempat aku membalas ucapanya, Rio udah berlari
meninggalkanku. Ya sudahlah mungkin urusan itu penting sekali. Akhirnya aku
kembali ke tempat jenny.
Lho? Jeny kemana? Kok tidak ada disini.
Ya sudahlah aku tunggu disini, mungkin dia masih ke kamar mandi atau beli
makanan. Mataku tertuju ke arah para pemain basket yang sedang bertanding.
Keren sakali mereka. Masih enak – enaknya menonton para pemain itu, tiba – tiba
ada seseorang yang menghampiriku.
“Rani?”
“Eh…Dita? Ya ampun kamu? Kamu main
disini?” Aku sedikit terkejut melihat Dita teman sekolahku yang ternyata sedang
menonton basket juga.
“iya Ran, aku main tapi nanti. Kamu sama
siapa kesini Ran? Sendiri?”Tanya Dita kepadaku.
“Aku sama jenny, Dit. Tapi Jeny masih
keluar.”
“oh ya, gimana hubunganmu sama Rio?”
Tanya Dita dengan membahas topik lain.
Ya, selain Jeny, aku juga dekat dengan
Dita. Dan Dita yang tahu soal hubunganku dengan Rio. Ya pastinya karna dia anak
basket juga, jadi dia tahu soal Rio. Dia juga yang sering memberiku nasehat dan
mau mendengarkan curhatanku tentang Rio. Dita lebih enak dan asyik di ajak
curhat jika di banding dengan Jeny yang selalu merespon curhatanku dengan tidak
serius.
“baik kok Dit hubunganku sama Rio”
jawabku dengan tersenyum dan berusaha terlihat biasa seperti tidak ada masalah
dalam hubungan yang aku jalani. Dita tahu semua masalah yang aku alami akhir –
akhir ini dan aku tidak mau menambah curhatanku lagi karna mungkin dia akan
bosan mendengar curhatanku tentang Rio yang itu – itu saja, tidak ada ujungnya.
“eem serius? gak papa kok Ran, gak perlu
merasa gak enak kalau mau curhat. Aku bakal dengerin semua nya kok. Jangan
khawatir, aku gak bakal bosan kok dengar curhatanmu. Tinggal nanti kamu traktir
aku aja ya di café kesukaan aku.” Ucapnya sambil tertawa dan seolah – olah
mengajakku untuk tersenyum.
“hahaha, kamu itu bisa aja Dit. Iya deh
nanti aku traktir tapi air putih aja ya?” responku untuk guraun Dita barusan.
Em, Dita itu benar – benar seperti peramal. Dia tahu perasaanku banget dan
tebakan dia hampir selalu benar. Apalagi nasehat – nasehatnya selama ini, dia
sepeti sudah berpengalaman lebih soal cinta. Ya seperti dokter cinta gitu.
“oh ya Ran, keluar sebentar yuk. Antar
aku ketemu sama temen. Mau kan? Ayolah. Cuma sebentar kok.” Dengan nada yang
sedikit memaksa dia menarik – narik tanganku dan mengajakku keluar.
“iya-iya Dit, sebentar aku mau sms Jeny
dulu biar dia gak nyariin aku setelah dia tahu aku tidak disini.” Jempolku
dengan cepatnya mengetik sms untuk Jeny.
“Eh Ran, ada sesuatu yang mau aku
tunjukin ke kamu. Ini soal omonganku seminggu yang lalu.” Nada Dita menjadi
merendah dan raut wajahnya seakan prihatin akan sesuatu.
“Omongan yang mana Dit? Maksud kamu apa?
Aku gak ngerti.” Aku bingung degan maksud Dita dan perubahan wajah Dita yang
tiba – tiba jadi seperti itu.
“eemm, sini ikut aku.” Tangan Dita
menarik tanganku dan menuju ke arah taman kecil yang berada di dekat tempat
pertandingan Basket.
“Ran, kamu lihat ke arah sana. Perhatikan
baik – baik.” Tangan Dita menunjuk pada seseorang yang masih duduk berdua,
ketawa bersama, dan sepertinya sudah akrab sekali. Ya aku tahu siapa mereka.
Aku berdiri kaku dan tubuhku melemas.
Entah kenapa, rasanya benar – benar sakit dan bingung apa yang harus aku
lakukan. Aku menarik nafas, kemudian aku tersenyum dan menundukkan kepalaku.
Diam dan diam, aku hanya diam.
“Ran, maaffin aku. Maaf aku baru memberi
bukti sekarang. Aku takut kalau aku mengatakan sesuatu tanpa bukti, aku takut
kamu menuduhku yang tidak – tidak. Maffin aku Ran, maaf baru sekarang semuanya
terjawab. Semua curhatan-curhatan itu sebenarnya aku tahu jawabannya tapi aku
takut kalau kamu tidak percaya sama aku. Maaffin aku Ran. Sekarang kamu sudah
tahu jawaban dari semua pertanyaanmu yang sering kamu tanyakan ke aku.” Dita
memelukku dan dia menangis, memeluk erat tubuhku yang lemas dan hampir jatuh.
“Ran lalu apa yang bakal kamu lakukan
sekarang?”tangan dia menggenggam tanganku, dia berusaha menguatkan aku.
Aku mengangkat kepalaku dan berkata
lemas, “Dita, aku mau pulang. Kalau nanti Rio mencariku bilang saja aku masih
ke kamar mandi. Aku gak papa kok Dit. Kamu tidak perlu nangis seperti ini,
makasih ya Dit. Kamu udah ngasih aku jawaban dari semua pertanyaanku.” Aku
berjalan meninggalkan Dita, dan berusaha berdiri kuat tanpa menangis. Aku hanya
bisa mengejamkan mata dan berharap semuanya itu hanya mimpi. Ya Tuhan, kuatkan
aku.
Kemudian aku menelfon Jeny, “Hallo, Jeny
kamu dimana? Pulang yuk. Aku tunggu kamu ya di tempat parkir. Aku harus pulang
sekarang ada urusan mendadak.” Tanpa menunggu jawaban dari jenny, aku langsung
menutup telfon.
Tidak lama kemudian Jeny datang. Aku
berusaha menutup kesedihanku di depan Jeny. “Kamu dari mana saja? Kenapa kamu gak
sms aku. Heem kebiasaan deh kamu Jen.” aku memaksa bibirku tersenyum seolah –
olah tidak terjadi sesuatu dengan diriku, lebih tepatnya perasaanku. “Hayo,
tadi siapa tuh yang ada di taman? Berduaaan, ketawa – ketawa, seperti sudah
akrab sekali.” Ucapku sambil tersenyum lebar berusaha bergurau tidak jelas.
“hah, jadi kamu lihat aku Ran? Aduh
ketahuan deh, padahal aku mau bikin kejutan buat kamu. Kamu kenapa tadi tidak
ikut ngumpul aku saja si Ran, kan bisa langsung aku kenalin.” Ucap Jeny begitu
riang dan tersenyum terus disepanjang jalan.
“gila, masak aku tiba – tiba datang dan
merusak suasana romantismu itu. Hoo dasar, kamu ini. Cie ciee yang masih
seneng, habis ketemuan.” Tertawa paksa memang begitu sulit dan sangat
mengganjal.
Beberapa hari kemudian, aku memaksa Rio
untuk ketemuan. Ya, aku ingin memperjelas semuanya.
“Rio? Senang sekali sore ini kita bisa
ketemuan.” Aku tersenyum seolah – olah tidak tahu soal sifat buruknya.
“Iya Ran, ada apa kamu ngajak ketemuan
mendadak gini?” Tanya Rio menatapku.
“Rio, aku ingin Tanya sesuatu ke kamu.”
Tanpa memberinya kesempatan untuk berbicara aku langsung tertuju pada tujuanku
mengajak ketemu sore itu.
“Maaf waktu hari minggu aku pulang tidak
izin sama kamu. Ada urusan mendadak dirumah, jadi aku langsung pulang gitu aja.
Maaf Rio”
“Iya Ran, gak papa”
“Rio? Kamu sama siapa waktu hari minggu
duduk berdua ditaman? Kalian sepertinya sudah akrab sekali.” Tanyaku halus dan
sama sekali tidak membentak Rio.
“eeemmm, eemmm…” Rio gugup dan dia kaget
mendengar pertanyaanku yang seperti itu.
“jawab aja Rio, jujur sama aku. Bukannya
dalam suatu hubungan kita sebaiknya saling terbuka dan jujur supaya tidak
terjadi kesalah pahaman? Dia siapa Rio?” nada suaraku mulai merendah dan mulai
lemas entah kenapa.
“eemm, dia…dia..dia.. maaffin aku Ran.
Akhir – akhir ini aku dekat sama dia. Ran aku tahu aku salah.” Rio menjawab
dengan raut wajah yang terlihat menyesal dihadapanku.
“Rio, lalu bagaimana dengan hubungan
kita? Kalau memang kamu tertarik dengan perempuan itu, harusnya kamu jujur sama
aku, dan putusin hubungan kita.” Aku mulai terbawa emosi perasaanku. Ya Tuhan
jangan sampai aku nangis gara – gara ini semua. Kuatkan aku Tuhan.
“Rio, aku mau kita putus sekarang juga.
Maaf mungkin ini yang terbaik untuk kita dan untuk kalian.” Tanpa mengucap
pamit dengan Rio aku langsung pergi, melangkah pulang. Sungguh ini menyakitkan
dan cinta itu ternyata hanya sesaat di hati aku. Aku menghela nafas panjang dan
berusaha untuk tegar, menerima semuanya yang menimpaku saat ini.
Seminggu setelah kejadian itu, aku sudah
tidak memikirkan apapun tentang Rio. Rio hanya masalaluku dan bukan siapa –
siapaku lagi. Walaupun banyak kenangan yang sudah terukir diwaktu yang singkat,
namun aku harus melupakan semuanya.
Nada dering Barbie berbunyi, dan ternyata
itu telfon dari Jeny. “hallo Jen, ada apa?”
“Hey Rani, sore ini makan di luar yuk !
aku traktir deh. Yuk ! pokoknya harus mau ya, aku jemput beberapa menit lagi.
Bye !” tut…tut…tut… dasar Jeny, kebiasaan deh bikin janji seenaknya dan maksa
orang seenaknya. Sahabatku ini benar – benar menyebalkan. Okelah daripada di
rumah sepi dan tidak ada kegiatan lain, aku ikut Jeny saja makan diluar.
Sesampainya di tempat makan. Jeny
ternyata tidak hanya mengajakku, melainkan dia mengajak orang lain. Entah
siapa, aku belum tahu. “Ran, ada yang mau aku kenalin ke kamu.” Nada jenny
benar – benar seperti orang yang baru dapat kuis berhadiah mobil mewah, dia
tersenyum dan tidak sabar memperkenalkan orang itu.
“Rio? Maaf ya nunggu lama. Oh ya ini
Rani, sahabat aku. Sahabat kecil aku yang pernah aku ceritakan ke kamu.” Jeny
tersenyum memperkenalkan namaku dan memaksaku untuk berjabat tangan, berkenalan
dengan Rio.
Sumpah, aku benar – benar kaget melihat
sosok cinta masalaluku. “ee…ee.. Namaku Rani” aku hanya mampu mengucap kalimat
sependek itu di tengah – tengah suasana yang tidak pernah aku duga sebelumnya.
“Ran, ini Rio pacar baru aku. Ganteng
kan? Ini hlo yang waktu itu kamu lihat ditaman. Dia anak basket yang waktu itu
main di pertandingan itu.” Ucap Jeny dengan memuji – muji Rio dengan bangganya
dan tangannya merangkul Rio seakan tidak bisa jauh dari Rio.
Aku hanya tersenyum dan duduk kaku
mendengar kalimat – kalimat pujian Jeny terhadap Rio. Entah aku benar – benar
berada di posisi yang menyakitkan. Tapi aku harus kuat, aku sudah berhasil
melupakan Rio. Dia bukan siapa – siapaku lagi. Kuat dan kuat, ayo Rani jangan
nangis. Perasaanku menyemangati diriku sendiri. Entah aku harus berbuat apa.
Aku takut kalau Jeny tahu tentang hubunganku dengan Rio sebelumnya. Aku tidak
ingin menyakiti hati sahabat aku, semuanya harus aku kubur dalam – dalam demi
persahabatan.
Memegang sebuah prinsip memang tidak
semudah seperti membolak balikkan telapak tangan. Mungkin ini yang dinamakan
Persahabatan. Harus kuat melihat apa yang dilihat, melupakan semua yang dirasa
seberat apapun. Mungkin kejadian – kejadian itu akan aku anggap seperti debu.
Ya, aku akan berusaha menghapus debu itu dengan angin kencang yang aku punya.
Setiap orang mempunyai cara untuk bersahabat dana ini adalah acaraku untuk
persahabatan yang aku jalani walaupun sangat berat.
Rencana Tuhan pasti lebih baik. Dan aku
percaya pasti Tuhan akan memberiku sosok yang lebih baik dan cocok dengan
kepribadianku. Aku percaya itu.